Petani Tua


Pecenongan
July 24, 2007, 5:52 am
Filed under: Masa-masa Revolusi

Sebelum lahir Perjanjian Renville tahun 1948 sejumlah kesatuan TNI Bambu Runcing—berasal dari Laskar Rakyat Jawa Barat—yang lahir setelah agresi militer Belanda pada Juli 1947 memasuki kota Jakarta. Kesatuan ini di tahun sebelumnya diseterui oleh pihak pemerintah, karena menolak perjanjian Linggarjati. Mereka mendapat semacam tempat hunian di beberapa tempat. Salah satunya terletak di Jalan Pecenongan yang lokasinya nyaris di seberang sebelah Utara gedung yang sekarang disebut Istana Negara. Dulunya hunian penguasa tertinggi kolonial Belanda yang disebut Gubernur Jendera.

Tempat hunian di Pacenongan itu adalah perusahaan yang menampung hasil bumi, seperti gula-kelapa dari Purwokerto, minyak sereh dan lada dari Lampung. Namun, sejak datang peti-peti berukuran 1 X 1 meter berisi tafsir Qur’an, tempat itu berubah menjadi semacam toko buku. Bangunan bagian depan dari bangunan dijadikan toko. Separuh ke belakang dijadikan kantor, dan selebihnya hunian serta dapur dan kamar mandi.

Sebuah kamar di bagian belakang dihuni seorang gadis yang bekerja sebagai wartawan lepas. Gadis itu bernama Niar. Perawakannya ramping. Kuncennya yang biasa dipanggil Ar berperawakan agak pendek dan memiliki wajah cukup tampan dari yang lain, seperti Cinan—yang gemar meremas-remas ujung hidungnya dengan telunjuk dan jempol—dan si Andia yang biasa-biasa saja. Mereka berdua ini (Cinan dan Andia) sering agak lama berada di situ. Berbeda dengan Kus, Nur dan Capang yang hanya satu dua malam berada di situ, lalu menghilang lagi masuk ke pedalaman Jonggol, Pasirtanjung dan dusun-dusun di sekitar Sanggabuana, atau jauh ke Sukabumi Selatan.

Andia pernah dititipkan oleh Cinan di Jalan Tangerang. Dari sana ke Tanah Abang, rumah seorang pedagang pakaian jadi di Tanah Abang. Pekerjaan mereka sebenarnya tidak banyak. Tetapi semuanya beresiko tinggi jika diketahui oleh pihak Belanda. Sudah pasti ditangkap. Jika diketahui membawa bukti-buki semacam obat-obatan resikonya tidak seberapa. Tetapi jika kedapatan membawa amunisi, granat dan senjata api, panjang ceritanya: disakiti bahkan bisa sampai mati.

Sebenarnya hanya semacam kurir-kurir pembawa barang-barang berupa obat-obatan dan pakaian. Terkadang juga golok, parang, hulu kapak yang sering diperlukan ketika berada di belukar dan hutan. Walau hanya itu tugasnya, diperlukan ketelitian dan kepiawaian berperilaku yang sesuai dengan pengakuan ketika tidak bisa lagi mengelak dari pemeriksaan dan penggeledahan di pos-pos tentara Belanda atau sergapan patroli. Jika mengaku petani, walau dengan raut wajah yang dibodoh-bodohkan, si kakitangan Belanda tak terkecoh. Diperiksanya telapak tangan. Telapak tangan yang jarang, apalagi tidak pernah menggenggam dan mengayunkan cangkul bisa dipastikan licin. Kalau sudah begitu pastilah ditangkap dan ditahan. Tapi jika pandai membuat kilah-kilah dan tak ada barang bukti, biasanya tidak lama sudah dilepaskan. Secara nyata kakitangan Belanda itu tidaklah seringan tangan kakitangan penguasa otoriter Soeharto terhadap orang-orang yang dicurigai, apalagi yang dituduh dan dijadikan tahanan. Memang survey membuktikan bahwa begundal-begundal lebih telengas dari tuan dan majikannya.

Dalam keadaan seperti itu—sebuah kondisi yang mengharuskan kehati-hatian—bagi pemuda yang memiliki gejolak keremajaan tidak bisa samasekali dipadamkan. Dalam keadaan normal kematangan biologis seusia mereka lazimnya membuncah-buncah. Sering terjadi si penakut lari ke masturbasi dan si avonturir menempuh resiko kena GO yang dalam kelakar disebut kinderziekte alias penyakit kekanak-kanakan. Apalagi rombongan kurir itu kebetulan banyak anak kedokteran.

Suatu pagi, hari Minggu, Cinan bertanya, “kapan kau berangkat, ‘Ndia?”

“Besok,” sahut Andia ringan.

“Udah rapi semua dan lewat yang biasa?”

“Ya, udah. Lewat yang biasa saja. Aku sudah janjian sama di Onih.”

Mereka berdua duduk berhadapan. Masing-masing menghadapi secangkir kopi. Pagi itu si Azhar yang mendapat giliran menyiapkan sarapan. Zar itu pandai sekali menggoreng telur. Goreng telurnya menggelembung berisi dan aromanya mengundang selera makan. Ketika aroma itu menyambar hidung mereka berdua, Cinan bergumam, “si Zar itu cocoknya buka restoran Padang, hehehehe….”

Barang-barang yang akan dibawa Andia ketika itu beragam. Kemarin sore dia sudah mengambil obat-obatan dari Bogor. Obat-obat itu berasal dari seorang wedana dan adiknya yang bersekolah di Kanisius Jakarta. Namanya Hindun.

“Hai, Andia, kau mampir di gang Sepatu. Maksudku, kalian berdua.” Cinan dengan suara agak miring.

“Ya…, mampirlah. Nggak lama sih, cuma dua jam…,” sahut Andia.

“Gila lu…, sempet-sempetnya,” gerutu Cinan.

Ade rejeki nyamperin, masa iye dibiarin, Cinan,” sahut Acin sambil bangkit dari duduknya, lalu pergi ke belakang. Tidak lama kemudian dia meneriaki Cinan, “Cinan, goreng telur koki kita sudah mateng. Mumpung masih anget, makan yuk!”



Ismail Marzuki
July 21, 2007, 3:18 pm
Filed under: Perjalanan

Barangkali di kalangan muda sekarang nama Islamil Marzuki tidak sesemarak penggubah lagu-lagu pop sekarang ini. Islmail Marzuki memang hadir di paruh pertama abad yang lalu, ketika bangsa ini baru bangkit menjadi bangsa yang merdeka, dan suka duka dalam pergulatan untuk terus menjadi bangsa merdeka. Kenyataan itulah yang direkam olehnya dan dituangkannya menjadi lagu-lagu seperti Rindu, Sampul Surat, Selendang Sutra, Saputangan dari Bandung Selatan, Melati di Tapal Batas, Sepasang Mata Bola, Djuwita Malam, Gugur Bunga dan sederet lagu lainnya.

Begitulah seorang kakek yang rambut, kumis dan janggutnya sudah beruban ditambah linu-linu di kaki kirinya yang sewaktu-waktu membuatnya tak bisa tidur dan tak mampu berjalan. Petang itu di kamarnya yang berukuran 2,5 x 4 meter tengah mendengarkan lagu-lagu Ismail Marzuki.

Ketika terdengar lagu Djuwita Malam dia memejamkan mata dan terawangnya hadir. Terbayang wajah seorang sahabatnya yang berperawakan tinggi-tegap, rambutnya agak keriting dan sikapnya lemah lembut. Namun, dia tegas dan kukuh jika tengah dalam pertempuran dengan serdadu Belanda. Dalam lagu itu ada lirik “di Jatinegara kita akan berpisah…” dan dia memang berpisah dengan pacarnya di situ dalam perjalanan pulang ke Purwakarta. Barangkali itulah alasannya mengapa dia amat menyukai lagu Djuwita Malam.

Sahabatnya itu didera derita begitu panjang sampai terpaksa hidup di kursi roda bertahun-tahun lamanya dan nyaris lumpuh akibat peluru negeri sendiri—negeri yang dibela dan dihormatinya—bersarang di pinggangnya selama puluhan tahun lamanya. Itulah harga suatu pendirian sebuah kehendak dan kesetiaan pada Proklamasi Kemerdekaan. Dan tembang Indonesia Pusaka telah diperolehnya. Kalimat dalam lagu itu … tempat akhir menutup mata. Ya, setelah sekian lama dirawat oleh anak-anaknya dan setelah puluhan tahun dijegal tak bisa kembali, akhirnya dia menutup mata di Tanah Airnya.

Dari sudut-sudut mata si kakek membersit butir-butir bening yang perlahan meluncur ke pipi dan sisi hidungnya. Wajahnya sendu. Di rongga dadanya membuncah kesedihan dan rasa hormat pada teman-temannya yang telah tiada. Hasa Gayo yang amat menyukai lagu Jangan Ditanya, Sidik Samsi Melati di Tapal Batas, Hasan Kopral Jono.

Kepingan CD yang memuat lagu-lagu Ismail Marzuki itu diperoleh si kakek dari seorang anak muda, dan ini membuat si kakek agak heran.

“Kenapa kau suka Ismail Marzuki? tanyanya.

“Itu kan lagu-lagu perjuangan yang digubahnya, kakek..,” sahut si anak muda itu sambil menatap si kakek.

“Betul…?” ujar si kakek, dan melanjutnya, “kan aku beberapa waktu lalu yang minta kumpulan lagu-lagu Isma.

“Ya… sih. Betul. Tapi aku juga suka ciptaan Ismail Marzuki.”

Si kakek mengernyitkan dahinya.

“Begini, anak muda…, mula-mula kau pakai kata gubahannya, lalu kau pakai kata ciptaannya. Si kakek berhenti sejenak, kemudian melanjutkan: “ya…, barangkali aku ini kuno. Lagi pula aku ini kan manusia abad lalu. Sejauh kuketahui orang yang menyusun, atau sebutlah yang membuat musik disebut komponis. Aku juga tidak tahu kenapa kata itu tidak dipakai oleh para pembuat lagu sekarang ini. Yang dipakai malah yang sangat hebat dan sebenarnya bisa disebut mustahil. Apa ada manusia menciptakan sesuatu. Setahuku manusia cuma menemukan sesuatu yang belum ditemukan. Contohnya elemen yang dari waktu ke waktu bertambah jumlahnya ditemukan berkat kemajuan penelitian. Jadi, ditemukan, bukan diciptakan. Menyusun sesuatu dari yang telah ada, apakah itu bisa disebut mencipta? Ya, terpulang pada kalian yang muda-muda. Aku ini sudah tua, sebelah kakiku sudah di liang lahat, hehehe….