Petani Tua


Lupa oh Lupa
July 19, 2007, 7:38 am
Filed under: Opini dan Gagasanku

Kejadian tiga tahun yang lalu diperingati dengan ramai. Para petinggi negeri sampai peringgi negeri lain berdatangan. Dan konon, berpuluh-puluh triliun mengalir ke Aceh, yang tiga tahun lalu bersama Nias diterjang gempa besar yang disusul tsunami. Seberapa lama akan ingat semua itu? Pertanyaan tersebut muncul, sebab kejadian-kejadian masa lalu sepertinya dengan mudah mencapai titik lupa.

Kejadian di jaman pendudukan balatentara Jepang yang galak sagala beuki (galak dan rakus), men-romusha-kan dan meng-heiho-kan rakyat dan pemuda kita, tidak diketahui berapa jumlah korbannya. Kejadian Proklamasi 17 Agustus 1945 yang sesungguhnya, seperti ditenggelamkan oleh yang tidak sesungguhnya; berapa jumlah yang tewas selama yang disebut Perang Kemerdekaan untuk membela dan mempertahankan Negara RI 1945-1949, belum juga diketahui; korban pembantaian di Sulawesi oleh Westerling cuma katanya 40.000 jiwa, dan kita tidak mengetahui berapa korban DI/TII, lalu korban peristiwa G30S di tahun 1965 yang konon ratusan ribu, bahkan ada yang mengatakan lebih dari satu juta, menyusul berbagai penculikan dan penghilangan orang. Semua kejadian itu meninpa dan dialami oleh masyarakat kita.

Sayangnya, kita kurang sekali suka belajar dari masa lalu, belajar dan mempelajari yang sudah terjadi dengan logika. Logika berarti berpikir lurus dan benar, tidak boleh selingkuh. Dan mana mungkin belajar dari yang akan datang, yang belum terjadi. Itu akan sama dengan merajut angan-angan.

Persoalannya, mengapa kita doyan lupa dan sering senang melupakan—apakah itu untuk kepentingan sendiri, kelompok, atau lainnya. Bukankah yang sudah terjadi itu adalah kebenaran, kenyataan. Orang boleh suka atau tidak suka. Tapi, melupakan apalagi nyaris meniadakannya adalah pengingkaran pada kebenaran, pada kenyataan.

Tentu orang bisa lupa, sengaja atau tidak, mengenai hal-hal sepele, keseharian dan rutinitas, yang hanya menyangkut diri sendiri atau keluarga atau beberapa orang. Itupun jika tidak sampai pada kematian.

Lain halnya dengan sejumlah besar matinya manusia dalam suatu kejadian. Kejadian-kejadian seperti itu ada yang disebabkan ulah manusia, dan ada yang disebut bencana alam. Dan seringkali kita mengkambinghitamkan alam, seperti terjadinya longsor, banjir, timbunan sampah membusuk yang menimbulkan banyak penyakit. Dan sialnya, mental kita seperti dihinggapi semacam sindrom cucitangannya Pontius Pilatus. Di wilayah kabupaten Bandung, belum lama ini berselang, sekitar seratus mati akibat timbunan sampah yang meledak, dan sang bupati terpilih kembali dalam pilkada.

Ada lagi, mengenal lembaga-lembaga tinggi negara kita, siswa SMA atau siswa perguruan tinggi, hampir semua tidak tahu apa itu KNI Pusat (KNIP), konstituante, dan bedanya MPRS dan MPR. Tentu mereka tidak bisa dipersalahkan. Sebab, selama belajar/bersekolah belasan tahun tidak didengarnya dari para guru yang juga mungkin tidak tahu,, mungkin juga tidak ditemukan barangkali dalam buku. Hal serupa itu telah berlangsung cukup lama, puluhan tahun. Kita telah lupa dan, sengaja atau tidak melupakannya. Maka, bilehlah kita mempertanyakan di titik mana martabat kita dan peradaban kita. Kita tidak usah uring-uringan menghadapi keadaan carut-marut sekarang ini. Mana bisa kita mengerti hari ini jika kita melupakan hari kemarin dari mana kita datang. Sehingga hari ini kita berbuat dan berlaku hampa kemengertian dan terjerumus ke rawa kebodohan. Mengabaikan apalagi melanggar kekmengertian adalah kriminal. Celakanya, kemengertian pada masa lalu itu yang kita belum punya, sehingga maraklah dusta-dusta berjubah kesemuan yang berpasangan dengan keselingkuhan. Dan kita jadikan ketidaktahuan untuk lupa dan melupakan.

Sudah waktunya kita mencari tahu pada hal-hal yang telah terjadi di hari kemarin, supaya kita bisa mengenali hari ini, dan dengan begitu, kita mengobati diri dari penyakit suka-pada-lupa-dan-melupakan, sehingga tidak diperlukan lagi keselingkuhan/

Dan tentu saja untuk semua itu kita harus memakai logika, yaitu berpikir lurus dan benar. Tanpa logika, kita akan membodohi diri dan orang lain, dan jadilah kita si bodoh di antara yang tidak bodoh di muka bumi ini.

Semoga tidak berlangsung lebih lama lagi seperti ini.

Lereng Burangrang, Akhir 2005


Leave a Comment so far
Leave a comment



Leave a comment