Petani Tua


Sebuah Cengkrama
July 19, 2007, 6:22 am
Filed under: Cerpenku

Konon ada sebuah pertemuan di semacam balairung, tetapi yang bertutur bukanlah seorang raja, melainkan seorang lelaki tua renta. Sedangkan yang hadir paramuda lelaki dan perempuan. Ada juga beberapa yang terbilang tua, berusia 50-60an tahun.

Begini tutur si tua renta itu, “…memang pikiran itu tidak mudah dibaca dan tak bisa diraba. Jika pikiran itu keliru, tidak lantas berarti otaknya sakit. Kita mengetahui bahwa otak manusia rata-rata bersarnya sama, begitu juga kandungan sentrum atau terminalnya. Barangkali bisa dikatakan bahwa manusia sejak ribuan tahun yang lalu mencermati bahwa perilaku manusia secara sadar dikendalikan oleh pikirannya. Tentu ada juga pengaruh yang disebut perasaan. Nah, yang saya hendak tuturkan ialah perihal pikiran. Agaknya, kita belum terbiasa memikirkan pikiran. Memang, untuk hal-hal yang sudah rutin dalam keseharian, tidak diperlukan pemikiran. Tetapi, untuk hal-hal yang penting, baik untuk diri sendiri, keluarga, sanak family, apalagi masyarakat, diperlukan pemikiran yang seringkali tidak segampang membalikan telapak tangan. Dalam hal demikian, bagaimana pikiran itu bekerja? Apa dibiarkan saja semau-maunya?”

Seorang pemuda mengangkat tangan, lalu berbicara, “kalau begitu ada aturannya!”

Seorang pemudi bercelana jeans memotong, “apakah yang dimaksud adalah filsafat?”

Si tua renta manggut-manggut, lalu melanjutkan tuturnya, “begini, supaya kita tidak melebar kemana-mana, coba kita pilah dulu bahasan kita. Saya tidak akan memasuki wilayah sakral. Saya hanya akan mengemukakan pembicaraan di wilayah profan saja. Sering kita memaknai atau memahami yang dinamakan logika itu ialah yang masuk akal. Padahal, soalnya bukan keluar-masuk atau sebaliknya. Saya setuju dengan yang dikemukakan oleh seorang pakar filsafat bernama Rapar. Menurut dia, logika itu ialah berpikir lurus dan benar, Lurus artinya tidak selingkuh, dan benar artinya seperti kenyataan. Tidak boleh menuruti suka tidak suka, atau senang tidak senang. Jadi, artinya memakai logika adalah jujur, dan karena itu terhormat. Dalam logika, tidak ada ruang untuk semu, apalagi selingkuh. Jadi, setiap yang semu apalagi selingkuh, tidak berlogika. Sebab asas dari logika ialah lurus dan benar.  Jika ada orang yang memakai logika dalam mencari dan untuk mengetahui sesuatu, maka ia adalah terhormat. Tetapi, jika setelah menemukan yang dicari dan mengenalinya, lalu dia sembunyi dan untuk itu dia merekayasa berbagai pembenaran, maka sesungguhnya dia menanggalkan kehormatannya, menggantinya dengan keterhinaan: mendustai orang lain seiring dengan mendustai diri sendiri. Tidaklah mungkin bertepuk sebelah tangan. Nah, begitulah yang dinamakan atau disebut logika. Saya tidak menyuruh siapapun, juga tidak menganjurkan supaya berpikir menggunakan logika. Saya cuma menuturkan logika itu sejauh begitu yang saya ketahui…”

Dari corong pengeras suara terdengar lantunan adzan untuk sembahyang ashar. Hari pun beringsut petang.

Seorang yang sudah beruban mengangkat tangan, lalu berbicara, “saya kurag paham, tadi dikatakan orang yang mendustai orang lain juga mendustai dirinya sendiri. Bagaimana bisa begitu?”

“Begini…,” sahut si tua renta. “Saya kira bukan cuma orang dewasa, tetapi sampai anak-anak juga tahu dusta itu tidak baik. Jadi, jika ada yang melakukannya terhadap orang lain, dia juga mengingkari sadarnya sendiri. Sebab, jika dia setia pada sadarnya, dia tidak akan melakukannya…”

Setelah menunggu beberapa lama dan tak ada yang bicara, bertanya atau menyanggah, si tua renta pamitan.

“Saya pulang jauh. Saya berdiam di lereng gunung. Dan mendung lagi, takut kehujanan,” ujar si tua renta.


Leave a Comment so far
Leave a comment



Leave a comment